Hari itu seorang Ustad (demi
kenyamanan tidak kami sebut namanya) mendatangi kumpulan kami saat duduk-duduk
menunggu waktu Isya, dan ia berkata, “Saudara-saudara ada satu hal yang saya
sayangkan pada diri sampean semua yang sehat-sehat seperti itu.”
“Kalian kan rajin baca
al-Quran, kalian sehat, kalian juga
Islam, tapi mengapa tidak mengamalkan ayat perang, tepatnya surat at-Taubah
ayat 5 dan 36, juga al-Baqarah ayat 191. Kita diperintahkan perang, maka harus
kita laksanakan. Apalagi jelas sekali sekarang banyak orang musyrik.” Jawabnya.
“o...itu to pak Ustadz?” Ustman
mulai tertarik dengan umpan pak ustad.
“Loh emang ada arti lain dari
ayat itu. Ini ayat sudah jelas loh, apa lagi sudah dipraktekan Rasulullah yang
selalu berperang melawan orang musyrik.” Respon si Ustad.
“Begini pak Ustad, setahu saya
memahami al-Quran tidak cukup hanya melihat teksnya saja, kita harus
mempertimbangkan aspek lain demi melestarikan inti ajaran Islam.” Gelitik
Ustman.
Ustman melanjutkan, “ Saya tidak
mengingkari al-Qur’an, tetapi saya mempersoalkan cara kebanyakan orang yang
suka mengkafirkan orang lain memahi ayat tersebut. Sebab cara pendang seperti
itu bertentangan dengan semangat Islam yang damai, harmonis dan toleran.
Bukankah dalam surat an-Nisa ayat 94 Allah juga berfirman, “Dan janganlah
kalian mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu, “kamu bukan
orang mukmin” dengan maksud mencari harta benda di dunia, karena di sisi Allah
sesungguhnya harta yang banyak.” Juga ayat ke 90, “Maka jika mereka
membiarkan kalian dan tidak memerangi kalian serta mengemukakan perdamaian
kepada kalian maka Allah tidak memberikan jalan bagi kalian untuk memerangi dan
menawan mereka.” “Bukankah ayat-ayat ini perlu dipertimbangkan agar
pelaksanaan memerangi kemusyrikan tidak ngawur.” Ustman mengakhiri diskusi
karena suara adzan Isya dari Masjid tetangga sudah dikumandangkan.