Sering kali kita jumpai pembakaran
kemenyan di tempat-tempat tertentu (misalnya makam para wali). Dan juga sering
dijumpai pada acara-acara tertentu yang dilakukan oleh sebagian saudara kita. Bagi
sebagian orang, bau kemenyan diidentikkan dengan pemanggilan roh, dan sebagian
yang lain menganggapnya sebagai pengharum ruangan, dan ada pula yang merasa
terganggu dengan bau kemenyan. Lalu bagaimanakah sebenarnya hukum menggunakan
kemenyan, baik dalam kehidupan sosial bermasyarakat maupun dalam urusan ibadah.
Mengharumkan ruangan dengan membakar
kemenyan, dupa, mustiki, setigi, kayu gaharu yang mampu membawa ketenangan
suasana adalah suatu hal yang baik.
Karena hal ini ittiba’ dengan
Rasulullah saw. Beliau sendiri sangat menyukai wangi-wangian, baik minyak wangi,
bunga-bungaan ataupun pembakaran dupa. Hal ini turun temurun diwariskan oleh
beliau kepada shahabat dan tabi’in. Bahkan sampai sekarang banyak sekali
penjual minyak wangi, kayu gaharu serta dupa-dupaan di sekitar Masjid Nabawi
dan Masjidil Haram.
Beberapa Hadits menjadi dalil bahwa
beliau-beliau semua sangat menggemari wangi-wangian, diantaranya adalah:
“Jika kamu mengukup (mengasapi) mayat,
maka ganjilkanlah.” (HR.Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Abu Sa’id, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
ra.Berwasiat agar kain-kain kafan mereka diukupi dengan kayu gaharu.
Bahkan Rasulullah saw.juga pernah
bersabda, “Jauhkan masjid-masjid kamu dari anak-anak kamu, dari pertengkaran
kamu, pendaharan kamu dan jual beli kamu. Ukuplah masjid-masjid itu pada hari
perhimpunan kamu dan jadikanlah pada pintu-pintunya itu alat-alat bersuci.”
(HR.At-Thabarani)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa wangi-wangian
adalah suatu hal yang sudah menjadi
tradisi di zaman Rasulullah saw.dan juga para shahabat nabi. Namun anehnya
wewangian model ini diidentikkan dengan dunia klenik dan perdukunan. Ya mungkin
karena hal tersebut bersinggungan dengan pasar bebas yang menyebabkan
pergeseran selera kemenyan, dupa wangi dan sejenisnya.
0 komentar:
Posting Komentar