Rabu, 11 April 2012

Memusyrikan Shalawat = Memusyrikan Ali bin Abi Thalib ra.

"Saya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan al-Fatih lima ughliq (pembuka segala yang tertutup), thibbil qulub wadawaaiha (penyembuh dan pengobat hait). Bagaimana perkataan ini tidak terlepas dari syirik." (Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik)


Sering kita dengar ada kelompok Ustad yang cara beribadahnya mantap, cara ceramahnya berapi-api, bahkan dengan tegas dan kerasnya mereka berani memusyrikan dan mengkafir-kafirkan orang yang tidak setuju dengan mereka. Diantara penyebab yang membuat mereka memusyrikkan orang lain adalah redaksi shalawat nabi yg menurut mereka berlebihan dan mempertuhankan Rasulullah saw. Pernyataan saya ini bisa anda buktikan pada buku "Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik." dan buku-buku sejenisnya yang lain.



Tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka sama saja telah menganggap sahabat Ali bin Abi Thalib ra., menantu Rasulullah saw.dan para Ulama ahli Hadits mengajarkan kemusyrikan.
Bagaimana tidak, sepupu sekaligus menantu Nabi saw.ini menganjurkan kita semua untuk membaca shalawat yang mengandung kalimat-kalimat pujian kepada Nabi Muhammad saw.seperti kalimat di atas.


Perkataan H.Mahrus Ali sebagaimana kami sebutkan di awal artikel ini menunjukkan ketidak mengertiannya terhadap arti kalimat-kalimat pujian tersebut, mungkin karena ia memang bukan ahli Hadits dan tidak merujuk kepada ahli Hadits. Ia hanya merujuk kepada kaum Wahabi seperti Ibnu Mani', Ibnu Baz dan lain-lain yang bukan pengikut ahli Hadits. Padahal ideolog mereka sendiri, Ibnu al-Qayyim dalam Zaad al-Ma'ad memberikan uraian yang sangat bagus tentang nama-nama Nabi saw. Ibn al-Qayyim mengatakan, "Bagian penjelasan nama-nama Nabi saw. Semua nama-nama beliau adalah sifat-sifat terpuji bagi beliau, bukan sekedar nama yang tiada arti. Bahkan nama-nama beliau terambil dari sifat-sifat dan kesempurnaan yang melekat pada diri beliau. Diantara nama-nama beliau adalah Muhammad - dan nama ini yang terpopuler - al-Mutawakkil (yang berserah diri kepada Allah),..........al-Fatih (pembuka segala yang tertutup), dst." (Ibn al-Qayyim, Zaad al-Ma'ad. 1/84).

Masih dalam halaman tersebut, ideolog kedua faham Wahabi ini menafsirkan kata al-Fatih dengan perantara Nabi saw.Allah swt.telah membukakan pintu petunjuk setelah sebelumnya tertutup.

Nah, Apabila kita berpijak kepada pernyataan Ibnu al-Qayyim di atas, berarti kita meneladani shahabat Ali bin Thalib ra.yang memberi contoh kepada kita cara menyusun shalawat yang baik kepada Nabi saw., yaitu dengan menyertakan nama-nama beliau saw.yang terpuji. Sebalikny, jika menolak pernyataan tersebut atau memusyrikan pembaca shalawat yang seperti itu berarti sama saja memusyrikan shahabat Ali ra.pejuang Islam, menantu Rasulullah saw., dan termasuk golongan orang pertama yang masuk Islam.

Dengan demikian, sudah barang tentu mengamalkan atau membaca shalawat Fatih, Nariyah, dan shalawat-shalawat lainnya BUKAN MERUPAKAN KEMUSYRIKAN. Demikian pula kita akan senang membaca shalawat Thibil qulub yang oleh H.Mahrus Ali dianggap shalawat syirik.

Apakah mereka (Ustad-ustad Wahabi) tidak melihat kitab-kitab Ulama panutan mereka. Di dalam Majmu' al-Fatawa (34/210) Ibnu Taimiyyah al-Harrani mengatakan,

الأَنْبِيَاءُ أَطِبَّاءُ الْقُلُوْبِ وَاْلأَدْيَانِ
"Para nabi adalah para penawar hati dan agama."
Memuji Nabi saw.dengan kalimat "Penyehat badan dan penyembuhannya" adalah sesuai dengan sifat beliau yang dapat menjadi lantaran menyembuhkan orang yang sakit. Al-Utsaimin, tokoh Wahabi yang dikagumi mereka, menyampaikan sebuah riwayat bahwa ketika Qatadah bin al-Nu'man terluka dalam peperangan Uhud, salah satu matanya keluar sehingga menggantung di pipinya. Lalu ia mendatangi Nabi saw. Kemudian Nabi saw.mengambil mata yang keluar itu dan meletakkannya kembali pada tempatnya, sehingga pulih dan menjadi salah satu matanya yang terbaik selama hidupnya. (Syarah al-Wasithiyyah, hal. 630).

Dalam riwayat tersebut shahabat Qatadah tidak langsung berdoa kepada Allah swt. Tetapi beliau mendatangi Rasulullah saw. dan Rasul pun tidak menegurnya dengan berkata, "Mengapa kamu melapor kepadku, dan tidak langsung berdoa kepada Allah saja," Juga Nabi tidak berkata, "Kamu telah syirik, karena melaporkan penderitaanmu dan minta tolong kepadaku, bukan kepada Allah.". Akan tetapi Rasulullah saw.mengobatinya, dan dengan izin Allah swt.bisa sembuh. Dengan demikian apa kita salah kalau kita memanggil Rasulullah saw.dengan sebutan Penyembuh ? Tentu tidak.

Pesan saya, jangan mudah memusyikkan bahkan mengkafirkan orang lain. Saya kawatir kalau kafirnya kembali pada dirinya. Baca juga "Siapa yang Kafir." di sini.