Jumat, 14 Desember 2012

Siapa Pencipta Shalawat Badar


Pengarang Shalawat Badar ternyata Ulama Indonesia
Lantunan Shalawat Badar saya yakin sudah tidak asing lagi bagi kita rakyat Indonesia, selain memang sudah mendunia, saya jarang ditemukan suatu Majelis keagamaan tanpa ada shalawat yang satu ini. Namun banyak dari kita yang belum tahu siapa sebetulnya pencipta syair suci, Shalawat Badar tersebut.

Dia adalah KH.Ali Mansur ash-Shidiqi yang lahir di Jember 13 Maret 1921. Beliau adalah seorang yang sangat menganjurkan kemandirian kepada siapa saja yang pernah dekat dengan beliau, tidak hanya ngomong saja, beliau juga mencontohkan pernyataannya dengan mengaji di pesantren Pondok Agung Tuban dengan bekal hasil kerja sendiri, berjualan kue.

Setelah beberapa waktu, beliau terus pindah ke pesantren Tremas yang diasuh oleh KH.Dimyati. Di pesantren ini beliau berteman dengan KH.Ali Maksum (Pengasuh Pesantren Krapyak Jogjakarta) dan KH.Abdul Hamid (Pasuruan)
yang kesemuanya ini menjadi pejuang NU.Begitu gigih dan uletnya berjuang Ali Mansur ini menjadi bagian penting pada beberapa organisasi, seperti Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Laskar Hizbullah, Dewan Konstituante NU, Departemen Agam RI dan Majelis Pimpinan Hadi (MPH). Bahkan beliau telah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Departemen Agama. Ketika beliau menjalankan salah satu tugasnya beliau bertempat tinggal di Banyuwangi. Di kota yang terkenal dengan tarian Gandrung ini ia benar-benar menunjukkan semangat pengabdiannya untuk NU. Kiai Ali, diangkat menjadi Ketua Cabang NU Banyuwangi pasca dirinya keluar dari Dewan Konstituante yang telah dibubarkan pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun ditengah pengabdiannya itulah cobaan keras menimpa NU. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang membabi buta memunculkan keprihatinan yang begitu mendalam. Perlawanan terhadap simbo-simbol keagamaan terus digalakkan oleh Partainya Aidit itu dengan menggunakan segala media, baik yang bersifat politik maupun melalui karya-karya yang diciptakan. Lagu Genjer-genjer kala itu seakan sudah mendarah daging dan selalu didengungkan di kalangan masyarakat loyalis PKI. Lagu asal Banyuwangi itu sekan telah menjadi lagu wajib bagi PKI.

Kiai Ali langsung tanggap dengan keadaan yang labil. Dia segera mencari langkah yang tepat untuk menandingi lagu Genjer-genjer itu. Banyak kesaksian yang menceritakan proses terbentuknya Shalawat Badar ini, di antaranya adalah dari sang istri, Nyai Khatimah. Ia mengungkapkan, ketika Kiai Ali menjadi Kepala Departemen Agama dan Pengurus Cabang NU Banyuwangi, dirinya melihat kebiasaan tak lazim ditunjukkan oleh suaminya. Ketika pulang dari kantor dirinya selalu mendapati suaminya mengambil wudlu dan shalat dua rakaat, yang kemudian selalu dilanjutkan dengan menulis sesuatu di selembar kertas. Tidak sedikit kertas yang selesai ditulisi lalu dirobek-robek dan dibuang. Ketika ditanya atas kegiatan tersebut Kiai Ali selalu menjawabnya dengan senyuman.

Perilaku Kiai Ali ini bisa jadi adalah proses penulisan Shalawat Badar itu sendiri. Karena pada jangka waktu tersebut Kiai Ali belum mengumandangkan Shalawat Badar. Dipertegas lagi dengan pertanyaan dari Habib Abdur Rahman di dengar bu Nyai Khatimah ketika sang Habib berkunjung ke rumahnya. Habib Abdur Rahman bertanya, “Saudaraku, mana bait-bait syair yang kau ciptakan dan kau tulis kemarin?”

Dalam kisah lain diceritakan pula ketika malam Jum’at tahun 1960, para tetangganya melihat serombongan Habib mendatangi rumah Kiai Ali. Dan malam yang sama pula, sang istri memimpikan Nabi Muhammad saw.sedang berpelukan dengan sang suami. Pada pagi harinya, para tetangga berkumpul dan mendatangi rumah Kiai Ali. Mereka menanyakan, “Ada tamu siapa saja tadi malam, kok ramai sekali?”. Namun karena Kiai Ali tidak mengenal tamu yang datang semalam itu, maka beliau tidak memberi jawaban yang pasti. Atas runtutan kejadian yang janggal itulah Kiai Ali kemudian menanyakannya kepada Habib Hadi al-Hadar (Banyuwangi). Habib Hadi pun menjawab bahwa mereka yang datang adalah arwah dari ahli perang Badar rodiallohu ‘anhum.

Kisah inilah yang menegaskan Kiai Ali untuk menulis syair dan menamakannya dengan Shalawat Badar yang kemudian ia kumandangkan dan ia perkenalkan ke seluruh kelangan nahdliyin. Hingga kini Shalawat tersebut terus menjadi syiar penerang bagi mayoritas umat Islam.

Sungguh karya yang sangat monumental, dan kita sebagai genarasi selanjutnya tentunya patut berterimakasih kepada Kiai Ali yang atas jasanya itulah mayoritas umat Islam mempunyai ciri khas yang tak mampu ditandingi oleh kalangan manapun. Wallahu a’lam. Semoga manfaat.

0 komentar: